Sejak 2011 sampai sekarang, saya ketagihan Bandung.
Empat atau lima kali dalam setahun mungkin ada. Padahal saya bukan penduduk
asli Bandung, juga tidak mengenyam pendidikan apa pun di sana. Kota Kembang
memang selalu dijadikan tujuan wisata jangka pendek alias weekend—terutama oleh Jakartans.
Pilihan mereka kebanyakan: Puncak dan/atau Bandung. Alasannya simpel, dekat dan
sejuk. Jakarta yang panas—udara maupun manusianya—membuat mereka butuh untuk
sekadar cooling down di tempat yang
benar-benar sejuk alamnya. Nah, sayangnya saya tidak akan membahas
Puncak/Bandung di tulisan ini. Bosan juga, tulisan tentang liburan saya ke
Bandung terlalu banyak. Sampai saya bingung memberi judul.
Setelah saya kenyang dengan Bandung, fasih dengan
tempat-tempat di sana—tapi jangan tanya jalan atau lewat mana ke saya, karena
tetep aja nggak hafal—kali ini saya punya tujuan baru: Yogyakarta. Apa pun
penyebutannya: Ngayogjokarto Hadiningrat; Jogja; Yogya; Yogyes, whatever you name it lah! Saya
memulainya tahun ini, tahun 2013. Sampai saat ini sudah tiga kali ke Jogja,
ngapain aja?
Pertama, dalam rangka menghadiri Festival Lampion
yang bertepatan dengan Hari Raya Waisak pada Mei lalu. Saya mengunjungi
Borobudur, Pantai Ngobaran dan Pantai Ngreyahan, juga Gudeg Yu Djum (yang kata
orang-orang, gudegnya enak). Kedua, dalam rangka ujian masuk S2 UGM. Kalau yang
ini sih sebetulnya karena ada tujuan terselubung aja, makanya beralibi ujian
masuk S2, biar dikasih uang saku ke Jogja (ampuni hamba-Mu ini, Ya Rabb!).
Sekelar ujian seharian, dari pukul 8 pagi hingga 3 sore, saya pun melanjutkan
perjalanan ke berbagai tempat. Taman Budaya Yogyakarta; Bentara Budaya
Yogyakarta; Ullen Sentalu; ke acara Jazz Mben Senen; Pameran Seni Rupa NTT;
nonton pertunjukan teater; dan menyempatkan diri mencicipi tempat nongkrong
Jogja, termasuk mampir ke kedai Mi Persis. Itu lho, kedai yang menyediakan menu
mi instan dengan penyajian sesuai gambar/bungkus mi nya. Mantap, ndes!
Perjalanan kali kedua ini memang agak lama, sekitar
tujuh hari. Hahaha. Yaa ini sih lebih karena tidak kebagian tiket murah,
makanya menunda kepulangan biar tetep dapat tiket Gaya Baru Malam Pertama, eh
maksudnya Gaya Baru Malam Selatan, seharga Rp55.000,- saja. Setelah muter-muter
di sekitar pusat kota, saya pun menginap selama tiga hari tiga malam di rumah
Amita—rekan di Komunitas Stand Up UI. Rumahnya di daerah Ngaglik, Sleman. Desa
yang masih sejuk, penuh hamparan sawah, juga bebas dari raungan kendaraan. Tiap
pagi, cukup buka jendela, atau duduk di balkon lantai dua. Duh, rasanya nggak
ingin balik ke Jakarta kalau begini.
Berikutnya, perjalanan Jogja ketiga dalam rangka
memenuhi wishlist 2013: hadir di acara Ngayogjazz. Semacam konser musik jazz,
dengan Desa Wisata Sidoakur sebagai panggungnya. Yap, satu desa ini ‘disewa’
khusus untuk acara Ngayogjazz. Kelima panggungnya ada di tengah-tengah halaman
rumah-rumah warga. Seru! Pembuktian bahwa jazz bukan musik kelas atas, bukan
musik mahal, juga bukan musik yang susah. Lha
wong tagline-nya aja “Rukun Agawe Ngejazz”, kurang merakyat apa coba?
Masih banyak tempat di Jogja yang belum sempat saya
kunjungi. Sengaja, biar ada alasan untuk ke sana lain waktu. Semoga tahun depan
bisa lebih puas, wisata sejarah; wisata alam; wisata kuliner; juga wisata
budaya. Nah, kalau ada yang mau ke Jogja, saling berkabar aja lah, siapa tahu
saya bisa jadi teman jalan yang setia : ))